Tags

Menghikmahi Momen Menunggu

Suatu hari, saya iseng-iseng nyari artikel tentang jangan tergesa-gesa. Terus nemu artikel baguuusss banget di rumaysho.com. Disitu dikisahkan tentang Hasan al Bashri yang bercerita tentang seorang pemuda penuntut ilmu. Singkatnya dalam cerita itu ada sebuah nasihat yang disampaikan gurunya kepada si pemuda. 


Bertakwalah kepada Allah, bersabarlah dan jangan engkau terburu-buru.


Begitulah nasihat sang guru kepada si pemuda yang menjadi muridnya. Seketika saya tertegun membaca nasihat penuh makna itu. Nasihat yang membawa saya menjelajahi masa lalu saya.


Saya teringat masa-masa dimana saya ingin segera punya anak. Entah kenapa rasanya selalu iri melihat ada teman yang melahirkan ataupun tau kalau dia hamil. Sedangkan saya kok belum kunjung hamil juga. Padahal saya kan juga pingin punya anak. Pikir saya kala itu.


Tapi giliran udah punya anak, saya jadi sering merasa stres. Sering banget mengalami burn-out berat.


Burn-out nya dimulai sejak anak saya MPASI. Lalu bertambah saat dia toilet training. Bertambah lagi saat dia disapih. Rasa-rasanya saat itu saya nggak punya kesempatan untuk sekedar bernapas lega. Tiap malam saya merasa takut menghadapi pagi. Tiap bangun pagi saya selalu merasa lesu dan menghela napas panjang. Saya terbayang wajah Hening yang makannya lamaaaa. Kadang dilepeh. Kadang nolak. Kadang kabur. Ngebayanginnya udah streesss banget 😵.


Lagi-lagi semua itu bukan salah anak saya. Tapi salah saya yang kurang siap menghadapi segala tantangannya. Masih kurang juga pengetahuannya, sehingga nggak tau cara memitigasinya. Dan sejujurnya perasaan putus asa sering menghinggapi. Tapi saya juga berusaha untuk menepis keputusasaan tersebut dengan optimisme. 


Dalam tangis di tiap do’a, saya selalu menyisipkan deklarasi bahwa saya ridho dengan keadaan ini. Saya yakin ini baik untuk saya. Walau untuk ridho bukan perkara mudah bagi saya. Saya tau apa yang saya hadapi ini hanya perkara kecil. Tapi saya nggak mau menganggapnya demikian agar saya tidak terus menciut.


Dalam proses penerimaan, saya terus menggali hikmah dari apa yang saya alami. Selain untuk meraih ridho Illahi, juga tentunya agar hati saya semakin tenang dan damai meski badai kehidupan tetap datang silih berganti. Karena mendidik anak tidak bisa dilakukan dalam kondisi hati dan pikiran yang carut-marut. Sehingga ketenangan hati dan pikiran adalah hal yang saya dambakan.


Namun sekarang saya merasa sudah jauh lebih baik. Jauh lebih tenang dari sebelumnya. Tentu ini berkat kasih sayangNya yang luas, dalam dan tak bertepi. Alhamdulillah Allah masih mau menolong hambaNya yang masih sering menduakanNya 🥺. 


Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya kesadaran, saya jadi paham kenapa saya mudah burn-out. Karena saya terlalu banyak hidup di alam pikir saya, bukan alam realita. Padahal saya hidup di alam realita, alam pikir hanyalah ilusi dan angan-angan. Alam realita tidak selalu semudah alam pikiran. Selain itu juga dulu saya meminta dengan nafsu tergesa-gesa, bukan dengan ketakwaan. Saya menunggu dengan penuh kekhawatiran dan rasa iri terhadap nikmat orang lain, bukan dengan penuh kesabaran. 


Dengan adanya kesadaran-kesadaran ini, saya ingin berbagi insight kepada siapapun. Agar semoga kalian minimal tidak mengalami seperti yang saya alami. Walau kenyataannya hidup di dunia selalu penuh tantangan. Here we go~


#1 Ridho Dengan Kondisi Saat Ini

Bagi kalian yang sedang menunggu kehadiran anak atau bahkan kehadiran jodoh, jangan risau. Ridholah dengan kondisi saat ini. Percayalah bahwa menunggu bukan sebuah ujian, melainkan rahmat dari Allah. Bisa jadi Allah memintamu untuk menunggu karena Allah yang paling tau, kapan waktu terbaik bagimu untuk memiliki anak ataupun bertemu jodohmu. Sehingga ketika amanah itu datang, kamu sudah siap menyambutnya dengan hati penuh syukur dan kegembiraan.


Mengingat kembali nasihat yang dalam cerita Hasan al Bashri, bertakwalah kepada Allah, bersabarlah dan jangan tergesa-gesa. Dan coba kita menelaah dengan lamat-lamat, do’a Nabi Zakaria pada surah Maryam ayat 2 - 6. Disitu diberitahukan bahwa Nabi Zakaria berdo’a dengan lembut. Kalau kita perhatikan, beliau juga meminta dengan penuh ketakwaan. Beliau tidak minta disegerakan, tidak pula menuntut. Melainkan beliau meminta dengan penuh takwa dan sabar. Bahkan meski usianya sudah sangat tua, tulangnya mulai melemah, kepalanya dipenuhi uban. 


Dalam do’a yang penuh harap itu juga terkandung misi yang ia sampaikan kepada Allah. Bahwa ia meminta kehadiran putra bukan sekedar untuk menggembirakan hatinya, melainkan untuk melanjutkan kenabiannya. 


Ketika menghayati ayat tersebut kembali, saya jadi menyadari kekeliruan lain yang saya lakukan ketika berharap memiliki anak. Tidak hanya meminta untuk disegerakan, tapi juga kurang tepat dalam menentukan tujuan. Sehingga, bukan bahagia yang saya rasakan, melainkan stres yang terus melanda akibat diri yang bukan iman dan takwa sebagai landasan untuk memiliki anak.


Maka, ridholah dengan kondisi saat ini. Cek kembali hati kita, apakah kita sudah benar-benar meluruskan niat? Atau jangan-jangan permintaan kita untuk memiliki anak atau dipertemukan dengan jodoh masih diliputi selubung nafsu.


#2 Cek Kondisi Hati dan Sembuhkan Segala Luka di Jiwa

Setelah saya punya anak, saya baru menyadari bahwa masih ada luka menganga sangat besar dan dalam pada jiwa saya. Luka tersebab masa lalu saat pengasuhan yang jauh dari kata siap menjadi orang tua. Namun dalam kondisi yang carut marut, saya berusaha untuk tidak menyalahkan orang tua saya. Melainkan memaklumi dan memaafkan mereka. Selain itu saya terus mencoba untuk menghikmahi dan menjadikannya pelajaran berharga bagi saya.


Saat menjadi orang tua, saya pikir berlemah lembut kepada anak adalah mudah. Karena dia adalah buah hati yang sangat saya nanti-nanti. Namun kenyataannya tidak. Sama sekali tidak. Justru kesabaran dan emosi saya diuji setiap hari. Terutama setelah memasuki fase MPASI. Saat itu saya merasa percuma mengikuti MPASI para ahli. Setiap hari saya mengalami kebuntuan dan nggak tau harus berbuat apa agar anak saya bisa makan lahap. Otak saya serasa kosong dari pengetahuan, tapi penuh dengan pikiran-pikiran negatif. Pada kondisi demikian, keputusasaan terus menjangkiti saya. 


Rasanya saya amat sangat lelah baik lahir maupun batin kala itu. Saya bingung dan kehilangan arah. Setiap hari saya menangis karena stres. Merasa tidak berdaya, tidak pantas bahkan tidak becus menjadi ibu. Kondisi ini juga membuat emosi saya naik turun, amarah saya meledak, dan berujung penyesalan. 


Kemarahan saya mengguncang tubuh saya yang rasanya membuat saya ingin mengamuk tapi saya tahan. Ketika saya membaca buku Melampaui Luka Ibu, saya baru tau bahwa ternyata emosi negatif masa lalu dapat terpendam pada otot-otot di tubuh. Hal itulah yang bisa membuat seorang ibu mengamuk pada anaknya. Karena endapan sampah emosi itu tidak ia sadari, lalu buang. 


Oleh karenanya, jika kamu merasa mudah marah, kecewa, gampang ngambek atau emosi negatif lainnya. Sadarilah emosi itu, akui, lalu cari cara untuk menghempasnya. Karena rasa tenang dalam menghadapi anak tidak timbul begitu saja. Terutama jika dulu kamu diasuh dengan penuh amarah, bentakan bahkan cubitan oleh orang tuamu. Melainkan perlu diikhtiarkan. Menyadari kondisi emosi diri adalah langkah ikhtiar pertama yang bisa kamu lakukan. 


Percaya nggak percaya, menjadi ibu dengan jiwanya penuh luka itu sangat berat. Sehingga lebih baik sadar sekarang, daripada nanti. Lebih baik berusaha untuk menyembuhkan diri sekarang, daripada nanti. Agar setidaknya, ketika amanah itu datang, ada luka yang sudah tersembuhkan. Dan sudah tau bagaimana caranya agar bisa tenang. Karena sebagaimana yang kita ketahui, bahwa anak-anak lahir dengan ketidaktahuan terhadap dunia. Sehingga ia tumbuh dengan rasa ingin tau terhadap segala sesuatu. Maka, yang dibutuhkan untuk menghadapi anak dalam menemani proses bertumbuhnya adalah ketenangan dan kesabaran. Namun untuk bisa tenang dan sabar butuh iman, takwa dan pengetahuan 🙃. 


Begitu juga dalam menanti datangnya jodoh, menyadari dan menyembuhkan luka adalah hal penting. Agar luka itu tidak menjadi sumber dari goresan luka baru lainnya setelah hidup bersama pasangan.


Namun meski rasanya pontang-panting, saya sangat mensyukuri apa yang saya alami. Karena ternyata semua itu adalah bentuk kasih sayang Allah. Serta cara Ia mendidik saya agar terus mengingatNya dan menjalankan peran saya lillahita’ala. 


#3 Persiapkan dan Pantaskan Diri

Dalam proses menyembuhkan luka di jiwa, saya juga baru menyadari bahwa ikhtiar untuk menyembuhkannya perlu dari segala aspek. Tidak bisa hanya dengan 1 aspek saja. Misal ikhtiar fisik saja atau dari sisi spiritual saja. Namun ada baiknya secara komprehensif. 


Dalam proses penyembuhan, saya berusaha untuk meningkatkan ibadah saya. Tidak hanya mengerjakan yang wajib, namun juga yang sunnah. Selain itu juga saya berusaha untuk lebih rajin lagi belajar. Entah itu dengan membaca buku/jurnal/artikel, dengerin podcast ataupun kajian, dan ikut seminar. Menurut saya, ikhtiar semacam ini adalah cara untuk meraih ridho Allah, agar Allah bersedia untuk menumbuhkan kesadaran dalam diri. Dengan adanya kesadaran, saya jadi tau, saya ini kenapa dan harus berbuat apa.


Selain itu saya juga melakukan ikhtiar fisik seperti olahraga. Jangan kira saya olahraga di pusat kebugaran, tentunya saya olahraga di rumah saja dengan modal liat youtube. Selain hemat, juga karena anak saya nggak bisa jauh dari saya 😂. Pada awalnya saya memilih yoga, karena menurut saya yoga terasa menenangkan. Akan tetapi lama-lama kurang memberi efek maksimal untuk saya pribadi.


Lalu saya coba dance cardio, agak lumayan membantu tapi masih terasa kurang menghempas sampah emosi. Sampai akhirnya saya iseng olahraga menggunakan resistance band. Alhamdulillah terasa jauh lebih baik. Walau tentu pada awalnya badan saya kemeng luar biasa dari atas sampai bawah. Tapi cukup efektif untuk menghempas emosi negatif. Alhamdulillah. Sepertinya saya butuh olahraga yang membuat otot saya bekerja lebih keras lagi.


Setidaknya sekarang gejolak emosi saya sudah tidak seperti dulu. Saya nggak harus melipir ke dapur lagi untuk lompat-lompat. Karena ketika rasanya ingin mengamuk, tubuh saya terasa nggak enak sehingga harus gedebukan dengan cara lompat-lompat untuk merelease emosi saya. Lompat-lompat yang sambil nangis itu 🙃.


Ah, tapi begitulah hidup di dunia. Tidak mungkin selalu nyaman.  Akan selalu ada momen tidak mengenakkan dibalik kenyamanan. Begitulah cara Allah menunjukkan kasih sayangNya agar kita tidak terlena dengan nikmatnya dunia. Hidup juga tidak akan selalu sesuai rencana kita. Karena ada Allah yang sejatinya sudah mengatur hidup kita. Sehingga kita tidak punya hak untuk mengatur apa yang sudah diatur olehNya. Maka, jika dirasa sudah melakukan banyak ikhtiar tapi apa yang dinanti tidak kunjung datang, ikhlaslah. Toh pada akhirnya segala ikhtiar tidak akan sia-sia. Karena semua ikhtiar itu tetap memberikan manfaat baik saat hidup di dunia, maupun saat di akhirat nanti. Insyaa Allah.


Maka luruskan niat hanya untuk meraih ridho Allah, bukan agar bertemu jodoh atau punya anak. Jika niatnya itu, biasanya jadi putus asa. Tapi jika niatnya lillahita’ala, optimisme akan lebih meningkat.


Jikalau pun hingga akhir hayat, jodoh ataupun amanah anak tidak datang juga, nggak apa-apa. Toh kita tetaplah manusia dengan banyak sekali peran kehidupan, namun tujuan tetap satu. Kalau kata al Ghazali dalam kitab Kimiya’u al-sa’adah (yang disadur oleh Pak Faiz dalam buku Filsafat Kebahagiaan), “manfaatkanlah waktu selama di dunia. Ketika hidup telah berakhir, tidak ada laku batin yang dapat dilakukan. Karena itu, apa yang bisa kau kerjakan, kerjakanlah sekarang.”


Allahu a’lam bishowab.


Tidak ada orang tua yang sudah langsung mahir dalam mengasuh anak. Meskipun sudah belajar parenting atau apapun. Akan selalu ada tantangan yang akan dihadapi nantinya. Bentuk tantangan setiap orang tentu beragam. Oleh karenanya ustadz Bendri mengatakan bahwa modal utama menjadi ibu adalah takwa. Karena dengan ketakwaan itu kita sanggup menghadapi segala tantangan yang tidak bisa kita prediksi seperti apa bentuknya.


Semoga mendapatkan manfaat dari membaca tulisan yang sangat panjang ini~

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller
Newest Older

Related Posts

2 comments

  1. Related with my journey.. I feel you madam.

    ReplyDelete

Post a Comment