Sebenarnya saya merasa nggak pantas untuk membicarakan topik ini. Karena saya bukan ahli neurologi dan bukan ahli pendidikan juga. Hanya saja saya merasa perlu menuangkan isi pikiran saya terkait hal ini. Selain biar apa yang dipelajari nggak nguap, juga sebagai pengingat diri sebagai orang tua agar tidak tergesa-gesa dalam mendidik anak.
Jadi ceritanya pas ikut ToT Read-Aloud hari kedua kemarin, ada pemaparan dari Bu Roosie yang membuat saya seketika berdialektika. Yaitu ketika beliau mengatakan bahwa menurut Stanislas Dehaene dalam buku Reading in the Brain bahwa otak manusia tidak diprogram secara genetik untuk belajar membaca. Melainkan diprogram untuk merasakan, berbicara, melihat, mendengar. Ketika beliau mengatakan demikian, saya langsung teringat curhatan ummi Leli (gurunya Hening di Rupinsya Kids) bahwa masih banyak anak-anak yang antara huruf satu dengan lain terbalik-balik. Kemampuan memorinya juga masih kurang. Kemampuan memahami bacaan juga masih sangat kurang. Sehingga stimulasinya perlu dioptimalkan lagi.
Kebanyakan orang tua beranggapan bahwa belajar membaca, menulis dan berhitung itu ya langsung dihadapkan dengan huruf dan angka. Lalu didrilling dengan rangkaian huruf, kata dan kalimat, dikasi soal hitung-hitungan dan sejenisnya. Tidak sedikit dari orang tua yang jadi emosi karena anaknya yang nggak bisa diemlah pas diajarin. Yang nggak ngerti-ngerti juga pas diajarin. Terus juga salah mulu. Alhasil orang tua yang ngajari berubah jadi sumala, anaknya jadi mogok belajar. Repot juga ya kalo jadi kayak gitu?!
Ya, memang betul, pada akhirnya anak bisa membaca, menulis dan berhitung dengan mengajarkan ala VOC. Akan tetapi apakah anak juga mencintai kegiatan itu? Atau mengerjakannya hanya sekedar formalitas saja?
Kemampuan Apa Sih Yang Harus Dimiliki Oleh Anak Sebelum Bisa Membaca, Menulis dan Berhitung?
Sampai tahun 2025 ini, masih banyak orang tua yang menggunakan metode jaman baheulak dalam mengajarkan baca tulis hitung atau calistung ke anaknya. Padahal makin kesini metode mengajarkan calistung makin beragam dan lebih humanis. Teori terkait metode tersebut juga makin mudah untuk diakses, baik itu yang gratis maupun berbayar. Sehingga nggak ada alasan lagi sih untuk tidak mempelajarinya. Jika dianggap cara ngajar VOC lebih ampun, saya rasa nggak juga. Karena cara seperti itu hanya bikin kita jadi mudah bad mood, anak juga jadi nggak semangat belajarnya.
![]() |
| Sumber : ibudanbalita.com |
Mungkin akan ada yang membantah pernyataan saya tersebut dengan mengatakan, “Anak saya belajar calistung pake cara VOC jadi bisa tuh dia. Bahkan bisa ngikutin pelajaran di sekolah juga. Dia juga berprestasi kok mau ikut lomba-lomba.”
Ya iya sih. Hanya saja kita ini tidak sedang mempersiapkan anak untuk bisa calistung hari ini saja. Melainkan kita sedang mempersiapkan anak agar dia menjadi pembelajar sejati. Sehingga kegiatan belajar seperti calistung perlu diperkenalkan dengan cara humanis, biar anak juga bisa belajar dengan nyaman dan hati gembira. Biar nanti pas waktunya sekolah, dia tidak menganggap sekolah sebagai beban melainkan sebagai tanggung jawab yang memang harus dijalankan.
Dalam metode Montessori, misalnya, proses menuju calistung itu panjaaaaaannngg banget. Menjalankan proses ini yang oleh banyak orang nggak sabar untuk dilakukan. Karena kita terbiasa melihat hasil, bukan proses. Padahal untuk bisa menguasai calistung, ada beberapa kemampuan yang perlu dikuasai terlebih dahulu. Dan untuk mahir dalam kemampuan tersebut, dibutuhkan stimulasi yang optimal dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Wkwkwk.
Kemampuan apakah itu?
Yaitu :
> Rentang konsentrasi/fokus
> Visual tracking
> Postur tubuh yang stabil
> Memori visual yang tajam
Mungkin yang saya sebutkan itu masih belum semuanya. Akan tetapi kemampuan dasar itu yang paling penting untuk dikuasai oleh anak sebelum mereka belajar calistung. Kenapa demikian? Karena untuk bisa calistung, anak perlu punya rentang konsentrasi yang panjang dulu. Pada dasarnya rentang konsentrasi anak adalah 1 menit x usianya. Jadi kalo ada anak umur 4 tahun diajarin baca misalkan, terus 5 menit kemudian dia ngacir, ya wajar aja sih. Karena memang rentang fokus anak usia 4 tahun baru sedikit.
Selain itu, anak juga perlu tubuh yang kuat dan stabil. Karena ketika memasuki usia sekolah, anak akan duduk dalam waktu yang lama. Kita yang dewasa aja duduk dalam waktu yang lama pasti capek kaaan. Apalagi anak-anak š.
Lalu mereka juga perlu punya kemampuan koordinasi mata tangan yang bagus. Karena saat proses membaca misalkan, anak harus tau arah baca. Karena kalau koordinasi visualnya rendah, dia ga bakalan bisa baca dengan baik. Kita yang dewasa aja, baca deretan tulisan yang panjang kadang suka nggeliyeng kaaan? Iya kaaan? Makanya deh kenapa perlu distimulasi, agar visual tracking lebih optimal.
Kemudian, memori visual nya juga harus baik. Banyak anak yang suka terbalik-balik antara huruf d dan b misalnya. Atau antara a dan d, dan lain sebagainya. Sehingga kondisi ini juga akan mengganggu anak ketika proses membaca.
Dari akibat-akibat yang saya paparkan diatas, itulah kenapa penting banget bagi anak untuk distimulasi terlebih dahulu sebelum mengajarkan mereka ke tahap teknis calistung. Kadang kita merasa proses stimulasi ini memakan waktu lama. Tapi hal penting yang perlu diketahui bahwa stimulasi nggak hanya membantu anak untuk bisa calistung yang baik. Namun juga akan memberi dampak pada emosi, psikologis, kognitif dan juga fisik anak. Selain itu dampak stimulasi juga bukan untuk hari ini atau esok, tapi juga seterusnya sampai ia dewasa.
Proses belajar seperti calistung kan butuh fisik yang kuat. Gimana caranya menikmati belajar kalau badan loyo, lemes, gampang capek? Otak pun harus sehat. Emosinya juga harus stabil dan secara psikologis juga baik. Agar proses belajar macam calistung itu tetap menyenangkan. Walau memang akan ada banyak tantangan yang akan dihadapi dalam proses belajar, apalagi seperti berhitung, maka stimulasi jadi sangat penting.
Mengintegrasikan Stimulasi sensori-Motorik Dengan Membaca Nyaring
Dari tadi ngomongin stimulasi-stimulasi. Emang stimulasi itu apa sih? Lalu bagaimana sih cara menstimulasi anak?
Jadi stimulasi yang saya maksud adalah stimulasi sensori motorik. Stimulasi sensori motorik adalah rangsangan yang diberikan untuk melatih panca indera dan gerak fisik agar tumbuh kembangnya optimal. Dengan rangsangan sensori, anak dapat mengenali tubuhnya sendiri maupun lingkungannya melalui pendengaran, penglihatan, indera peraba, perasa, maupun otot-otot dalam tubuhnya. Sedangkan melalui stimulasi motorik anak dapat berjalan dengan baik dan seimbang, dan dapat melakukan aktivitas fisik lainnya dengan baik.
Stimulasi memang tampaknya kegiatan bermain. Namun stimulasi sesungguhnya bermain yang nggak main-main. Anak perlu banyak bergerak, mengeksplorasi banyak hal di lingkungannya. Karena anak-anak akan lebih mudah untuk belajar jika seluruh inderanya aktif dan optimal. Caranya ya dengan menstimulasi sensori motoriknya.
Pada dasarnya kegiatan stimulasi sensori motorik itu sangat mudah. Ada banyak banget kok contoh kegiatan stimulasinya baik di Instagram, Youtube ataupun Pinterest. Yang penting kitanya mau meluangkan waktu, tenaga dan pikiran nggak untuk melakukannya. Tapi kalau nggak mau ribet, anak-anak bisa dibawa main ke playground. Terserah aja deh maunya di playground taman kota ataupun mall. Sesuaikan kemampuan aja. Ketika anak main ayunan, panjat-panjat, lompat-lompat, perosotan, sensori vestibular, proprioseptif, introseptifnya dapat terstimulasi. Terus jika di tempat tersebut ada hal-hal menarik, anak juga bisa diajakin mengeksplorasi benda tersebut.
Selain itu kegiatan di rumah macam nyapu, ngepel, cuci baju, cuci piring itu juga bagus banget buat stimulasi. Lalu bisa juga dengan kegiatan sederhana macam lempar tangkap bola, menjepit dengan jepitan baju, menggunting dan kegiatan sederhana lainnya.
![]() |
| sumber : rri.co.id |
Nah, dengan rutinitas stimulasi sensori motorik, maka kegiatan membaca nyaring juga akan lebih mudah, insyaa Allah. Kegiatan membaca nyaring nggak perlu lama-lama. Sesuaikan dengan usia anak. Jenis bukunya juga disesuaikan dengan usianya. Jika anaknya masih usia dini, usahakan bukunya adalah buku bergambar dengan tulisan yang sedikit dan bila perlu ukurannya agak gede.
Saat membaca nyaring, sebenarnya juga jadi bagian dari kegiatan stimulasi. Anak akan duduk dengan fokus dan mendengarkan ibu/ayah/gurunya yang membacakan buku. Pendengaran dan penglihatannya terstimulasi. Lalu saat membacakan nyaring, usahakan tulisan yang dibaca itu ditunjuk dan dibacakan dengan intonasi yang jelas. Tujuannya agar anak tau arah baca dari mana ke mana. Setelah selesai membacakan buku, perlu ada tanya jawab terbuka. Misalkan menanyakan tentang alur cerita dengan sederhana. Tapi kalau anaknya masih bayi mah ga usah ditanya-tanya atuh yak š¤£. Cukup diceritakan ulang saja biar sinaps di otaknya makin banyak š.
Manfaat lain yang banyak yang orang tau dari membaca nyaring adalah banyak anak yang bisa baca dengan sendirinya tanpa harus mengeja atau pun mengenal abjad. Tapi tetap perlu diingat, untuk bisa membaca, membaca nyaring saja nggak cukup. Tapi anak harus di stimulasi sensori motoriknya. Karena seluruh indera anak dapat optimal melalui bergerak.
Usahakan pada anak usia dini, tidak ada kegiatan akademik macam calistung. Karena belum waktunya ya, bun. Dunia anak-anak itu bermain, jadi lebih baik belajarnya lewat bermain. Nggak masalah sih memperkenalkan 1, 2, 3 misalnya. Namun kenalkan dari yang secara konsep. Misalkan pake batu disusun antara batu dengan jumlah 1, 2, 3, dst. Dengan begitu anak punya gambaran bahwa ternyata 1 itu lebih sedikit/kecil dari 5. Kegiatan ini memang tampaknya adalah kegiatan berhitung. Tapi juga sebenarnya menjadi kegiatan membaca sih.
Sudah nulis panjang-panjang rasanya kok nggelambyar banget ya tulisan ini š¤£. Semoga bisa dipahami deh yaa. Anggap aja tulisan ini sebagai pemantik untuk melakukan riset lebih dalam soal stimulasi dan membaca nyaring. Semangat belajar, bunda-panda!


.jpeg)





Post a Comment
Post a Comment