Tags

Zuhud yang Menenangkan

 

Banyak diantara kita pasti sering melihat konten-konten di media sosial tentang seorang suami yang harus memberi uang jajan tersendiri bagi istrinya. Uang jajan ini untuk memenuhi kebutuhan istri seperti untuk membeli skincare, pakaian, makanan dan lain sebagainya. Ya, memang idealnya begitu, perintah di al-Qur’an pun begitu, yang suami harus memenuhi kebutuhan istri. Akan tetapi ada hal yang mengganggu pikiran saya disini. Gimana ya jika misalkan suami sudah bekerja keras, sudah memberikan sebagian besar gajinya untuk dikelola istrinya, tapi sebagian besar uang itu digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Sedangkan untuk kebutuhan istrinya tuh keciiiilll banget. Bahkan mungkin sebelumnya tidak pernah ada kesepakatan mengenai besaran uang jajan istri. Pokoknya pake dan beli aja dengan uang yang ada jika ada yang dibutuhkan. Tapi kalau uangnya belum mencukupi, mungkin bisa nabung dulu. Jika kondisinya demikian, apakah sang suami akan dianggap lalai dalam memenuhi kebutuhan personal istrinya?


Entah kenapa hal semacam ini cukup mengganggu pikiran saya. Pasalnya karena adanya konten yang demikian, tapi nggak sesuai dengan kenyataan rumah tangganya, banyak dari istri yang akhirnya menuntut suaminya untuk memberikan uang jajan sendiri. Lalu mengeluarkan dalil bahwa suami harus memenuhi kebutuhan personal istrinya. Padahal sang suami juga udah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Akan tetapi ternyata usahanya ya baru bisa menghasilkan uang yang “ngepas” untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terus istrinya ngambek dan menuntut uang jajan dengan nominal sekian untuk dia.


Ya, sih. Memang betul suami harusnya bisa memenuhi kebutuhan istrinya. Tapi coba dipikir-pikir kembali, apakah selama berumah tangga kebutuhan sang istri sama sekali tidak dipenuhi secara layak? Atau mungkin sebenarnya sudah terpenuhi, tapi ya pas-pasan, hanya saja minta lebih karena kebanyakan liat orang lain di media sosial? Lalu ketambahan liat konten tentang uang jajan istri menambah dalil yang bisa digunakan untuk menyerang suami. 


Saya tidak bermaksud menyudutkan istri yang mengharap uang jajan dari suami. Tidak juga bermaksud untuk membela suami. Hanya saja, bisakah kita lebih adil dalam berumah tangga? Jika memang suami sudah berupaya keras dalam memenuhi kebutuhan keluarga, bisakah kita syukuri yang ada meskipun pas-pasan? Nggak masalah jika belum bisa punya rumah yang estetik, barang-barang fancy, ataupun  cantik di kafe untuk. Yang penting kebutuhan paling dasar semua anggota keluarga sudah tercukupi, bukankah itu baik? 


Saya tidak melarang seorang istri untuk protes kepada suaminya terkait kondisi ekonominya. Hanya saja hal ini berlaku jika suaminya malas bekerja. Atau sudah kerja bagus, gaji cukup, tapi pelit. Nah, ini. Protes mah nggak apa-apa. Tapi kalau suami sudah bekerja keras, disyukuri atuh lah ya. Karena nyari suami pekerja keras nan bertanggung jawab itu sulit. 


Kadang saya bertanya-tanya juga, gimana ya cara Rasulullah memenuhi kebutuhan jasmani istri-istrinya? Apakah mereka mendapatkan uang jajan dari Rasulullah? 


Rasa penasaran saya ini akhirnya terjawab ketika saya membaca buku Bilik-Bilik Cinta Muhammad,karya Dr. Nizar Abazhah. Dalam buku ini bercerita tentang kisah rumah tangga Rasulullah bersama para istrinya. Ada dalam satu bab buku ini bercerita tentang kesederhanaan hidup Rasulullah beserta para istri. Tapi menurut saya sederhananya sudah di level ekstrim. Saya rasa kebanyakan kita pasti nggak akan sanggup untuk menjalaninya.


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Rasulullah tidak hidup dalam kemewahan. Meski beliau sudah ditawarkan kekayaan oleh Allah, beliau menolaknya dengan santun. Beliau berdoa agar Allah memberikan rezeki kepada keluarga Muhammad hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhannya. Beliau nggak meminta banyak. Beliau hanya meminta secukupnya saja. 


Istri-istri Rasulullah pernah merasa bosan dengan hidup yang memprihatinkan. Lalu mereka meminta agar diberikan hidup yang lebih layak seperti istri kaum mukmin yang lain. Mendengar tuntutan para istrinya, lalu Rasulullah menepi dan tidak mengajak siapapun untuk berbicara. Tentu para istrinya resah. Mereka mengira Rasulullah akan menceraikannya. Kemudian Rasulullah keluar dari keheningannya dan membacakan ayat dari Allah yang turun kepadanya yaitu Surah al-Ahzab ayat 28. Ayat tersebut beliau bacakan kepada masing-masing istrinya. 


Ayat tersebut berisi informasi bahwa jika para istri tersebut menginginkan dunia, maka Rasulullah akan memenuhinya namun kemudian menceraikannya. Akan tetapi, jika yang dicari adalah keridhoan Allah dan RasulNya, maka itu yang lebih baik. Setelah mendengarkan ayat itu dibacakan, para istri Nabi lebih memilih Nabi ketimbang kekayaan. Walau pada akhirnya mereka hidup sangat miskin, tapi yang penting bagi mereka adalah keridhoan Allah dan Rasulullah yang jauh lebih agung daripada kekayaan dunia.


Dalam hal ini Rasulullah dan keluarganya tidak sedang mengajak kita untuk hidup melarat, miskin dan kesusahan ya. Hanya saja mereka mengajarkan kita untuk hidup sederhana dan seimbang. 


Rasulullah bukannya nggak pernah menikmati makanan enak dan punya harta berupa emas, misalnya. Hanya saja makanan enak yang beliau santap adalah pemberian. Itupun beliau bilang kalau nikmat ini juga nantinya akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Beliau juga pernah mendapatkan ghanimah berupa emas. Akan tetapi emas itu kemudian beliau infakkan kepada yang paling membutuhkan. Sikap beliau yang seperti ini kemudian diteladani oleh istri-istrinya yang mana mereka sangat ringan tangannya untuk bersedekah. Jika mereka mendapatkan rezeki lebih, pasti langsung diberikan ke orang lain. Sampai-sampai mereka lupa  meninggalkan sedikit harta untuk keperluan mereka sendiri. Padahal dirinya sendiri juga butuh. Tapi begitulah akhlak keluarga Nabi. Dunia sudah tidak menarik bagi mereka. 


Melihat bagaimana kehidupan berumah tangga dari Rasulullah sudah semestinya kita meneladani mereka. Ketika misalkan hidup kita dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan, cukup disyukuri dan jalani dengan sabar. Jika misalkan kondisi ekonomi lagi kurang pun, tetap harus disyukuri dan dijalani dengan sabar. Akan tetapi ketika diberi lebih oleh Allah, jangan langsung foya-foya. Melainkan dikelola dengan bijaksana. Sisihkan untuk kebutuhan diri dan keluarga, lalu keluarkan untuk diinfakkan kepada yang membutuhkan. Bukankah semua kondisi itu sudah dicontohkan oleh Rasulullah dan keluarganya? 


Kita nggak perlu terbawa arus media sosial mengenai kehidupan mewah orang-orang. Karena bagaimanapun, sebagai seorang mukmin, teladan kita ya Rasulullah, bukan orang-orang di media sosial. Jika saat ini suami belum bisa memberikan kita uang jajan 1M (🤣) per bulan mah nggak apa-apa. Jika kita nggak punya barang-barang fancy, nggak bisa nongkrong di kafe yang lagi hits, nggak apa-apa juga lah. Rasulullah juga nggak pernah. Ya emang sih jaman Rasulullah nggak ada kafe juga 😆. Tapi setidaknya beliau sudah meneladani kita sikap zuhud dan qonaah. Selain itu ada baiknya untuk tidak menunjukkan ketidakmampuan suami dalam memenuhi segala kebutuhan kita di media sosial. Dan jangan juga menunjukkan kemelaratan kita di media sosial. Kalau memang ingin mendapatkan rezeki lebih dari Allah, di simpan saja segala kesusahan kita rapat-rapat. Dunia nggak harus tau. 


Tapi semisalpun suami bisa memberikan kita segalanya, kita bisa membeli barang fancy, nongkrong di tempat yang hits. Nikmatin sendiri aja atuh lah ya. Nggak perlu disiarkan kepada seluruh khalayak ramai. Media sosial ini emang bener-bener bikin kita jadi hobi buka “showroom”😅. Memang kita tidak bertanggungjawab atas hidup seseorang. Akan tetapi, kita juga perlu untuk lebih bijak dalam membagikan apapun itu di media sosial kita. Bagikanlah apapun yang sekiranya menginspirasi seseorang untuk bisa menjadi lebih baik ❤. 


Di kehidupan modern yang punya 2 dunia, yaitu dunia nyata dan dunia maya, sikap zuhud menjadi sangat penting. Karena zuhud akan membuat kita lebih mindful dan tidak ikut-ikutan arus. Dengan zuhud juga akan membuat kita lebih bersyukur dan sabar akan takdir yang sedang dijalankan. Sehingga kita nggak perlu mengharapkan kehidupan seperti yang orang lain miliki. Bukankah akan lebih menenangkan? 

Emiria Letfiani
A Wife, A Mom, A Storyteller

Related Posts

Post a Comment